Halaman

Jumat, 09 Desember 1994

PP Nomor 40 Tahun 1994 Tentang Rumah Negara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 40 TAHUN 1994 

TENTANG 
RUMAH NEGARA  

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 


Menimbang   :  a.  bahwa  dalam  rangka  pelaksanaan  Undang-undang               
Nomor  4  Tahun  1992  tentang  Perumahan  dan  Permu-                        
kiman, perlu pengaturan mengenai pengadaan, penghunian, 
pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas rumah yang 
dikuasai Negara. 
    
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu 
mengatur rumah yang dikuasai Negara dengan Peraturan 
Pemeritah; 

Mengingat  :  1.  Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 

    2.  Undang-undang  Nomor  72  Tahun  1957  tentang  Pene-               
tapan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1955 tentang 
Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada Pegawai Negeri sebagai 
Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 158); 

3.  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar 
Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 

4.  Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok 
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, 
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041); 

5.  Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun 
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran 
Negara Nomor 3318); 

6.  Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan 
Permukiman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 23, 
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3469); 

7.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang 
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan 
Lembaran Negara Nomor 3501); 



MEMUTUSKAN : 

Menetapkan  :  PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
TENTANG RUMAH NEGARA 

BAB I 
KETENTUAN UMUM 

Pasal 1 

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 

1.  Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai 
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang 
pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri; 

2.  Pegawai Negari adalah pegawai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang 
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 

3.  Pejabat adalah pejabat negara atau pejabat pemerintah yang diangkat untuk 
menduduki jabatan tertentu; 

4.  Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pekerjaan umum; 

5.  Rumah Negara Golongan I adalah Rumah Negara yang dipergunakan bagi 
pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di 
rumah tersebut, serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang 
bersangkutan masih memegang  jabatan tertentu tersebut; 

6.  Rumah Negara Golongan II adalah Rumah Negara yang mempunyai hubungan 
dengan yang tidak dapat dipisahkan dari  suatu instansi dan hanya disediakan 
untuk didiami oleh Pegawai Negari dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah 
dikembalikan kepada Negara; 

7. Rumah Negara Golongan III adalah Rumah Negara yang tidak termasuk 
Golongan I dan Golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya; 

Pasal 2 

Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah ini meliputi pengadaan, penghunian, 
pengelolaan, dan pengalihan status dan hak atas Rumah Negara. 

BAB II 
TUJUAN 

Pasal 3 

Pengaturan Rumah Negara bertujuan untuk mewujudkan ketertiban pengadaan, 
penghunian, pengelolaan, dan pengalihan status dan hak atas Rumah Negara. 

BAB III 
PENGADAAN 

Pasal 4 

(1) Pengadaan Rumah Negara dapat dilakukan dengan cara pembangunan, 
pembelian, tukar menukar, tukar bangun atau hibah. 

(2)  Pelaksanaan pengadaan Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 5 

(1) Pembangunan Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 
diselenggarakan berdasarkan tipe dan kelas bangunan, pangkat dan golongan 
Pegawai Negeri pada suatu lokasi tertentu di atas tanah yang sudah jelas status 
haknya. 

(2) Pembangunan Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara. 

(3)  Pelaksanaan pembangunan Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku. 

Pasal 6 

(1)  Pelaksanaan pengadaan Rumah Negara dengan cara pembelian, tukar menukar, 
tukar bangun atau hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat dilakukan 
secara langsung dengan masyarakat atau badan usaha. 

(2)  Pengadaan Rumah Negara dengan cara menukar atau tukar bangun sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. 

BAB IV 
PENGHUNIAN 

Pasal 7 

Penghunian Rumah Negara hanya dapat diberikan kepada Pejabat atau Pegawai 
Negeri. 

Pasal 8 

(1)  Untuk dapat menghuni Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 
harus memiliki Surat Izin Penghunian. 

(2)  Surat Izin Penghunian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh 
Pejabat yang berwenang pada instansi yang bersangkutan. 

(3)  Pemilik Surat Izin Penghunian wajib menempati Rumah Negara selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak Surat Izin 
Penghunian diterima. 

(4)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat 
(3) diatur lebih lanjut oleh Menteri. 

Pasal 9 

(1)  Suami dan istri yang masing-masing berstatus Pegawai Negeri, hanya dapat 
menghuni satu Rumah Negara. 

(2)  Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya 
dapat diberikan apabila suami dan istri tersebut bertugas dan bertempat tinggal di 
daerah yang berlainan. 

(3)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur 
lebih lanjut oleh Menteri. 

Pasal 10 

(1)  Penghuni Rumah Negara wajib : 
a.  membayar sewa rumah; 
b.  memelihara rumah dan memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya. 

(2)  Penghuni Rumah Negara dilarang : 
a.  menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak lain; 
b.  mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah; 
c.  menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsinya. 

(3)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)  dan ayat (2) diatur 
lebih lanjut oleh menteri. 

BAB V 
PENGELOLAAN 

Bagian Pertama 
Umum 

Pengelolaan Rumah Negara merupakan kegiatan yang meliputi penetapan status, 
pendaftaran dan penghapusan. 

Bagian Kedua  
Penetapan Status 
Pasal 12 

(1)  Untuk menentukan golongan Rumah Negara dilakukan penetapan status Rumah 
Negara sebagai Rumah Negara Golongan I, Rumah Negara Golongan II, dan 
Rumah Negara Golongan III. 

(2)  Penetapan status Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pimpinan instansi yang 
bersangkutan. 

(3)  Penetapan status Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1) dilakukan oleh Menteri. 

(4)  Tata cara penetapan status sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan 
Keputusan Presiden. 

Bagian Ketiga 
Pendaftaran 
Pasal 13 

(1)  Setiap Rumah Negara wajib didaftarkan. 

(2)  Pendaftaran Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh 
pimpinan instansi yang bersangkutan kepada Menteri. 

(3) Tata Cara Pendaftaran Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diatur lebih lanjut oleh Menteri. 

Bagian Keempat 
Penghapusan 
Pasal 14 

(1)  Penghapusan Rumah Negara dapat dilakukan antara lain karena : 

a.  tidak layak huni; 
b.  terkena rencana tata ruang; 
c. terkena bencana; 
d.  dialihkan haknya kepada penghuni. 

(2) Penghapusan Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan 
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 

BAB VI 
PENGALIHAN STATUS DAN HAK ATAS RUMAH NEGARA 

Bagian Pertama 
Pengalihan Status 
Pasal 15 

(1)  Rumah Negara yang dapat dialihkan statusnya hanya Rumah Negara Golongan II 
menjadi Rumah Negara Golongan III. 

(2) Rumah Negara Golongan II dapat ditetapkan statusnya menjadi Rumah Negara 
Golongan I untuk memenuhi kebutuhan Rumah Jabatan. 

(3)  Rumah Negara Golongan II yang tidak dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah 
Negara Golongan III adalah : 

a.  Rumah Negara Golongan II yang berfungsi sebagai mess/asrama sipil dan 
ABRI; 

b. Rumah Negara Golongan II yang mempunyai fungsi secara langsung 
melayani atau terletak dalam lingkungan  suatu kantor instansi, rumah sakit, 
sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan udara, pelabuhan laut dan 
laboratorium/balai penelitian. 

(4) Apabila Rumah Negara Golongan II yang akan dialihkan statusnya menjadi 
Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdiri di atas 
tanah pihak lain, pimpinan instansi  yang bersangkutan harus terlebih dahulu 
mendapat izin dari pemegang hak atas tanah. 

(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan status sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.  

Bagian Kedua 
Pengalihan Hak 

Pasal 16 

(1)  Rumah Negara yang dapat dialihkan haknya adalah Rumah Negara Golongan III. 

(2)  Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud dalam (1) beserta atau tidak 
beserta tanahnya hanya dapat dialihkan haknya kepada penghuni atas permohonan 
penghuni. 

(3)  Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang berada 
dalam sengketa tidak dapat dialihkan haknya. 

(4) Suami dan istri yang masing-masing mendapat izin untuk menghuni Rumah 
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), pengalihan hak 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diberikan kepada salah satu 
dari suami dan istri yang bersangkutan. 

Pasal 17 

(1) Penghuni Rumah Negara yang dapat  mengajukan permohonan pengalihan hak 
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 
  
1.  Pegawai Negeri : 

a.   Mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; 
b.  Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; 
c.  Belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari 
Negara berdasakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

2.   Pensiunan Pegawai Negeri : 

a.  menerima pensiunan dari Negara; 
b.  memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; 
c.  belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari 
Negara berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

3.   Janda/Duda Pegawai Negari : 

a.  masih berhak menerima tunjangan pensiunan dari Negara, yang : 
1)  almarhum suami/istrinya sekurang-kurangnya mempunyai masa kerja 
10 (sepuluh) tahun pada Negara, atau 
2) masa kerja almarhum suaminya/istrinya ditambah dengan jangka 
waktu sejak yang bersangkutan menjadi janda/duda berjumlah 
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; 

b.  memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; 

c.  almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan jalan/cara apapun 
memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasarkan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 

4.   Janda/Duda Pahlawan, yang suaminya/istrinya dinyatakan sebagai Pahlawan 
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku : 
  
a.  masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara; 
b.  memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; 
c.  almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan jalan/cara apapun 
memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasarkan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 

5.   Pejabat Negara atau Janda/Duda Pejabat Negara : 
  
a.  masih berhak menerima tunjangan pensiunan dari Negara; 
b.  memiliki Surat Izin Penghunian yang sah; 
c.  almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan jalan/cara apapun 
memperoleh/membeli rumah dari Negara berdasarkan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 

(2) Apabila penghunian Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
meninggal dunia, maka pengajuan permohonan pengalihan hak atas Rumah 
Negara dapat diajukan oleh anak sah dari penghuni yang bersangkutan. 

Pasal 18 

Pengalihan hak atas Rumah Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 dilakukan 
dengan cara sewa beli.  

Pasal 19 

(1) Penghuni Rumah Negara yang telah dialihkan haknya sebagaimana dimaksud 
dalam pasal 16, dibebankan dari kewajiban pembayaran sewa rumah sebagaimana 
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf a. 
(2) Penghunian atas Rumah Negara yang  sudah dialihkan haknya sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1) dapat diserahkan sebagian atau seluruhnya kepada pihak 
lain oleh penghuni. 

Bagian Ketiga 
Penetapan Harga Rumah Beserta Harga Tanah 

Pasal 20 

(1) Taksiran harga Rumah Negara Golongan III berpedoman pada nilai biaya yang 
digunakan untuk membangun rumah yang bersangkutan pada waktu penaksiran 
dikurangi penyusutan menurut umur bangunan. 

(2) Penetapan taksiran harga tanah berpedoman pada Nilai Jual Obyek Pajak pada 
waktu penaksiran. 

(3) Harga Rumah Negara Golongan III beserta atau tidak beserta harga tanahnya 
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan harga taksiran dan penilaian yang dilakukan 
oleh panitia yang dibentuk Menteri. 

Pasal 21 

Harga Rumah Negara Golongan III sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (3) 
ditetapkan sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari harga taksiran dan penilaian yang 
dilakukan oleh panitia. 

Bagian Keempat 
Cara Pembayaran 

Pasal 22 

(1) Pembayaran harga Rumah Negara  Golongan III sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 21 dilaksanakan secara angsuran. 

(2) Apabila rumah yang dialihkan haknya  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
terkena rencana tata ruang pembayarannya dapat dilakukan secara tunai. 

(3)  Pembayaran angsuran pertama ditetapkan paling sedikit 5% (lima perseratus) dari 
harga rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan dibayar penuh pada saat 
perjanjian sewa beli ditandatangani sedang sisanya diangsur dalam jangka waktu 
paling cepat 5 (lima) tahun dan paling lambat 20 (dua puluh) tahun. 

(4) Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1) disetor ke Rekening Kas 
Negara pada Bank Pemerintah yang ditunjuk. 

Bagian Kelima 
Penyerahan Hak Milik Rumah dan  
Pelepasan Hak Atas Tanah 

Pasal 23 
(1) Penghuni yang telah membayar lunas  harga rumah beserta harga tanahnya, 
memperoleh : 
a.  penyerahan hak milik rumah; dan 
b.  pelepasan hak atas tanah. 

(2) Penghuni yang telah membayar lunas harga rumah hanya memperoleh penyerahan 
hak milik rumah. 

(3) Penghuni yang telah memperoleh penyerahan hak milik rumah dan pelepasan hak 
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengajukan permohonan 
hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

BAB VII 
PEMBINAAN  

Pasal 24 

(1) Pembinaan terhadap Rumah Negara Golongan I dan Rumah Negara Golongan II 
dilakukan oleh pimpinan instansi yang  bersangkutan dan pembinaan terhadap 
Rumah Negara Folongan III dilakukan oleh Menteri. 

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan 
pedoman, kriteria dan standar teknis yang ditetapkan oleh Menteri. 

BAB VIII 
SAKSI ADMINISTRASI 

Pasal 25 

Setiap penyimpangan penghunian Rumah Negara dapat dikenakan sanksi berupa 
pencabutan Surat izin Penghunian. 

BAB IX 
KETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 26 

(1)  Terhitung sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, segala peraturan 
pelaksanaan di bidang Rumah Negara yang telah ada tetap berlaku sepanjang 
tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini atau belum diganti atau 
diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. 

(2)  Semua peristilahan rumah negeri atau rumah dinas yang termuat dalam ketentuan 
peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini 
dibaca Rumah Negara. 

BAB X 
KETENTUAN PENUTUP 

Pasal 27 

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini maka Burgerlijke Woning Regeling 
(BWR) Staatsblad 1934 Nomor 147 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir 
dengan Staatsblad 1949 Nomor 338 dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1974 
tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, dinyatakan tidak berlaku. 

Pasal 28 

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan 
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal 9 Desember 1994 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

ttd 

SOEHARTO 

Diundangkan di Jakarta  
pada tanggal 9 Desember 1994 

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA  
 REPUBLIK INDONESIA 

 ttd  

 MOERDIONO 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1994 NOMOR 69 

Salinan sesuai aslinya 

SEKRETARIS KABINET RI 
  Kepala Biro Hukum 
 dan Perundang-undangan 
 Plt  
Lambock V. Nahattads, S.H. 

PENJELASAN 
ATAS  
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK 
NOMOR 40 TAHUN 1994 
TENTANG 

RUMAH NEGARA 

UMUM 

1.  Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 
1992 tentang Perumahan dan Pemukiman,  mengatur mengenai Rumah Negara yang 
meliputi pengadaan, penghunian, pengelolaan dan pengalihan status dan hak atas Rumah 
Negara. Peraturan Pemerintah ini sekaligus juga menggantikan Pengaturan untuk 
menyelenggarakan pengelolaan Rumah Negara, yang selama ini diatur dalam 
Burgerliojke Woning Regeling (BWR) Stb 1934 Nomor 147 sebagaimana telah beberapa 
kali diubah terakhir dengan Stb 1949 Nomor 338. 

2.  Dalam pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia 
Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh  masyarakat Indonesia, perumahan dan 
permukiman yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur merupakan faktor penting dalam 
peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan Pegawai Negeri dan 
Pejabat Pemerintah atau Pejabat Negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan 
Undang-Undang Dasar 1945. 

3.  Untuk menambah semangat dan kegairahan  kerja bagi Pegawai Negari, disamping gaji 
dan tunjangan lainnya sesuai dengan  peraturan perundang-undangan yang berlaku, 
Pemerintah memberikan fasilitas berupa rumah. Rumah ini diberikan kepada Pegawai 
Negeri dan Pejabat Pemerintah atau Pejabat Negara selama yang bersangkutan masih 
berstatus sebagai Pegawai Negari dan Pejabat Pemerintah atau Pejabat Negara. Apabila 
yang bersangkutan tidak lagi berstatus sebagai Pegawai Negeri, Pejabat Pemerintah atau 
Pejabat Negara, maka Rumah Negara tersebut dikembalikan kepada instansinya. 
Dalam Peraturan Pemerintah ini juga ditegaskan mengenai penggolongan Rumah Negara 
sebagai Negara Golongan I, Golongan II, dan Golonga III. 
Rumah Negara Golongan II tertentu dapat dialihkan statusnya menjadi Rumah Negara 
Golongan III dan Rumah Negara Golongan III dapat dapat dialihkan haknya beserta atau 
tidak beserta tanahnya kepada penghuni. 

4.  Untuk mencapai pengaturan atas Rumah Negara secara efektif dan efisien serta 
terintegrasi dalam satu pembinaan dan pengendalian atas Rumah Negara, diperlukan 
peraturan pemerintah yang mengatur seluruh  aset negara yang berupa Rumah Negara 
untuk terwujudnya ketertiban dan daya guna pengadaan, penghunian, pengelolaan dan 
pengalihan status dan hak atas Rumah Negara dapat terlaksana dengan baik. 

5.  Berdasarkan hal tersebut serta untuk mewujudkan ketertiban dan daya guna Rumah 
Negara dan sesuai dengan ketentuan  Undang-undang Nomor  4 Tahun 1992 tentang 
Perumahan dan Pemukiman, maka Peraturan  Pemerintah ini menggantikan Burgerlojke 
Woning Regeling (BWR) Stb 1934 No. 147 sebagaimana telah beberapa kali diubah, 
terakhir dengan Stb 1949 No. 338 yang mengatur mengenai perumahan yang dikuasai 
Negara. 

PASAL DEMI PASAL 

Pasal 1 
Angka 1 
  Rumah Negara yang dimiliki oleh negara diperoleh dengan cara : 
a.  Pembangunan yang dibiayai dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja 
Negara. 
b. Pembelian  
c. Tukar menukar 
d. Tukar bangun 
e. Hibah  

Angka 2 
Cukup jelas 

Angka 3 
Cukup jelas 

Angka 4 
Cukup jelas 

Angka 5 
Rumah Negara Golongan I dapat disebut sebagai rumah jabatan 

Angka 6 
Rumah Negara Golongan II dapat disebut sebagai rumah instansi. 

Angka 7 
Cukup jelas 

Pasal 2 
Cukup jelas 

Pasal 3 
Dengan ketentuan ini maka pengadaan, penghunian, pengelolaan dan pengalihan status 
dan hak atas Rumah Negara dapat dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna. 

Pasal 4 
Ayat (1)  
Pengadaan Rumah Negara untuk memenuhi kebutuhan rumah Pegawai Negari selain 
dilaksanakan dengan cara pembangunan, pembelian, tukar menukar dan tukar bangun 
dimungkinkan adanya hibah rumah dari  badan hukum, masyarakat dan perorangan, 
Rumah yang telah dihibahkan kepada negara tersebut sebagai kekayaan milik negara. 

Ayat (2)  
Cukup jelas 

Pasal 5 
Ayat (1)  
Cukup jelas 

Ayat (2)  
Cukup jelas 

Ayat (3)  
Cukup jelas 

Pasal 6 
Ayat (1)  
Cukup jelas 

Ayat (2)  
Cukup jelas 

Pasal 7 
Cukup jelas 

Pasal 8 
Ayat (1)  
Cukup jelas 

Ayat (2)  
Cukup jelas 

Ayat (3)  
Cukup jelas 

Ayat (4)  
Cukup jelas 

Pasal 9 
Ayat (1)  
Cukup jelas 

Ayat (2)  
Pengecualian ini diberikan dikarenakan sifat geografis dari tempat mereka bekerja 
yang mengakibatkan suami dan istri tersebut harus bertempat tinggal yang berbeda 
atau tidak mungkin untuk membiayai tempat tinggal yang sama. 
  
Ayat (3)  
Cukup jelas  

Pasal 10 
Ayat (1)  
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Ayat (2)  
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Cukup jelas 

Ayat (3)  
Cukup jelas  

Pasal 11 
Cukup jelas 

Pasal 12 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Cukup jelas 

Ayat (3) 
Cukup jelas 

Ayat (4) 
Cukup jelas 

Pasal 13 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Pendaftaran Rumah Negara dilakukan untuk : 
a.  Mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset Negara yang berupa rumah. 
b.  Menyusun program kebutuhan pembangunan Rumah Negara. 
c. Mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada Negara dari hasil sewa, 
penjualan, penghapusan dan pajak bumi dan bangunan. 
d.  Menyusun standar biaya pemeliharaan dan perawatan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 

Pasal 14 
Ayat (1) 
Huruf a 
Pada prinsipnya untuk Rumah Negara Golongan I dan Golongan II yang 
dihapuskan karena tidak layak huni dapat diganti dengan rumah penggati. 

Huruf b 
Untuk Rumah Negara Golongan I, Golongan II dan Golongan III yang dihapuskan 
karena terkena rencana tata ruang diupayakan diganti dengan rumah pengganti di 
tempat lain. 
Penghapusan Rumah Negara Golongan III yang sudah di sewa beli karena rencana 
tata ruang dapat diberikan rumah pengganti yang senilai, atau diberikan uang uang 
senilai setelah lebih dahulu penghuni membayar sisa angsuran sewa beli yang 
belum dibayar lunas. 

Huruf c 
Penghapusan Rumah Negara Golongan III yang sudah disewa beli karena 
bencana, perjanjian sewa belinya akan ditinjau kembali. 
Yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa yang merupakan akibat ulah 
manusia atau proses alam dalam mencari keseimbangan baru atau timbul secara 
tiba-tiba/tidak terduga yang mengakibatkan kerugian bagi kehidupan manusia. 
Misalnya :  -  Bencana kebakaran 
    -  Bencana pencemaran 
    -  Bencana banjir 
    -  Bencana gunung api 
    -  Bencana tanah longsor 
    -  Bencana gempa bumi 
    -  Bencana kekeringan 
    -  Bencana gelombang laut dan erosi 

Huruf d 
Cukup jelas 

Pasal 15 
Ayat (1) 
Rumah Negara Golongan I tidak dapat  dialihkan statusnya menjadi Rumah 
Negara Golongan II maupun Rumah Negara Golongan III. 

Ayat (2) 
Rumah-rumah tersebut melekat dengan pelaksanaan tugas Penghuni. 

Ayat (3) 
Huruf a 
Cukup Jelas 

Huruf b 
Cukup Jelas 

Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah perorangan, badan hukum atau instansi lain. 

Ayat (5) 
Keputusan Presiden tersebut mengatur pengalihan status berdasarkan pengamatan 
teknis, ekologis dan administratif. 

Pasal 16 
Ayat (1) 
Cukup jelas  

Ayat (2) 
Cukup jelas  

Ayat (3) 
Sengketa yang dimaksud misalnya : 
a. Sengketa penghunian; 
b.  Sengketa mengenai tanah. 

Ayat (4) 
Ketentuan ini menegaskan bahwa suami dan istri yang berstatus pegawai negeri yang 
berdinas dan bertempat tinggal di tempat yang berada masing-masing hanya dapat 
memperoleh izin untuk menghuni Rumah Negara, tetapi dalam rangka pengalihan hak 
atas Rumah Negara tersebut hanya salah satu di antara suami-istri yang dapat 
menerima pengalihan hak. 

Pasal 17 
Ayat (1) 
Angka 1 
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Cukup jelas 

Angka 2 
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Cukup jelas 

Angka 3 
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Cukup jelas 

Angka 4 
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Cukup jelas 

Angka 5 
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Cukup jelas 

Pasal 18 
Cukup jelas 

Pasal 19 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Cukup jelas 

Pasal 20 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Cukup jelas 

Ayat (3) 
Cukup jelas 

Pasal 21 
Cukup jelas 

Pasal 22 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Akibat terkena rencana tata ruang tersebut harus dibuktikan dengan surat keterangan 
yang dibuat oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II setempat, 
sedangkan untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur Kepala Daerah atau 
Pejabat yang ditunjuk. 

Ayat (3) 
Cukup jelas 

Ayat (4) 
Cukup jelas 

Pasal 23 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas 

Huruf b 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Permohonan hak atas tanah diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabu-paten/Kotamadya Daerah Tingkat II setempat sedangkan untuk Daerah Khusus 
Ibukota Jakarta kepada Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya setempat. 

Pasal 24 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Cukup jelas 

Pasal 25 
Cukup jelas 

Pasal 26 
Ayat (1) 
Cukup jelas 

Ayat (2) 
Cukup jelas 

Pasal 27 
Cukup jelas 

Pasal 28 
Cukup jelas   

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3573