Senin, 09 Juli 2012
13 PENSIUN PT. ANGKASA PURA I MENUNTUT KEADILAN
AJWImedia, Jakarta - Sebanyak 13 pensiunan PT.Angkasa Pura I (AP), menuntut keadilan dari pemerintah atas rumah dinas yang mereka tempati puluhan tahun di Blok D Komplek Rawasari.
Para pensiunan ini menceritakan detail persoalan kepada AJWImedia, Selasa(29/5/2012) Perlakuan Direksi PT AP I yang memidanakan mereka dengan tuduhan penyerobotan dengan ancaman 2 tahun penjara dinilai janggal, karena tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
“ Kami sebenarnya berjumlah 20 orang yang menuntut keadilan, tapi karena ditakut-takuti, akhirnya ke-7 orang tersebut menyerah kalah, “ kata Pak Putranto.
Padahal para pensiunan yang berusia renta adalah pendiri (founding fathers) Angkasa Pura I, yang bekerja sejak PT AP I baru mengelola 1 Bandar Udara yaitu Pelud Kemayoran sampai PT AP I kini sudah mengelola 13 Bandara sebagai anak perusahaan. Pada saat itupun PT AP I masih Perusahaan Negara (PN) Kemayoran dengan kinerja yang belum berkembang sama sekali, sampai menjadi Perusahaan Umum (Perum) yang sudah menghasilkan pendapatan triliunan.
Angkasa Pura I yang mempunyai tugas pokok sebagai pengelola dan pengusahaan bandar udara Internasional Kemayoran Jakarta mempunyai rumah dinas di Rawasari blok A, B, C, dan D. Mereka yang diperkarakan PT AP I yang tinggal di blok D. Mereka harus mengosongkan rumah dinas yang sudah ditempati sejak tahun 1992 (SKEP 47/ TK 004.3/ 1997), yang masa itu Direktur Utamanya Bambang Darwoto. Para pensiun ini juga sudah merenovasi rumah hingga seluas 2 kali dari bangunan aslinya dengan sepengetahuan direksi. Saat itu pun dirut mengatakan penghuni blok D bisa memiliki rumah setelah memenuhi syarat peraturan dan perundangan seperti rumah dinas yang ada di blok A, B, C yang sekarang sudah bersertifikat hak milik.
"Seharusnya, kalau mau menggusur rumah dinas jangan hanya blok D saja, mestinya semua blok dong, "kata Noeradi Sidik kuasa hukum kasus ini di Pengadilan Jakarta Pusat.
Pemerintah dinilai tidak berpihak terhadap rakyat kecil, contohnya, di salah satu blok yang diperjualkan telah terbangun apartemen. Apakah ini yang dinamakan berpihak terhadap orang kecil? Anehnya lagi rumah dinas blok D yang akan dikosongkan ini, tanggal 26 Oktober 2009 lalu terjadi pengalihan HGB seluas kurang lebih 12,9 Ha kepada swasta PT Duta Paramindo Sejahtera.
Pada tahun 2002, setelah rumah dinas memenuhi persyaratan untuk dapat dibeli oleh penghuni, baik para pegawai yang masih aktif atau pensiun dapat mengajukan pembelian rumah dinas yang dihuni kepada Direksi PT AP I. Di tahun 2006 Direksi PT AP I secara resmi mengajukan usulan penghapusan buku asset kepada Menteri Negara BUMN untuk selanjutnya dapat dibeli oleh penghuni.
Tapi, tahun 2009, mendadak para pensiunan AP diusir dengan 3 kali surat perintah pengosongan SP 1 sampai SP 3. Dalam surat pemberitahuan ini dikatakan akan melakukan pengusiran paksa. Alasan pengusiran berubah-ubah, dari alasan perintah KPK, Edaran Meneg BUMN dan alasan terakhir karena dibutuhkan untuk dihuni pejabat baru. Apabila PT AP I beralasan untuk digunakan pejabat baru.
"Saya tidak pernah berpikir ini diperkarakan Angkasa Pura, karena direksi terdahulu mengatakan boleh direnovasi, padahal dana renovasi dari kantong pribadi," kenyataanya ada 5 rumah yang kosong. Dalam perkembangan terakhir pihak AP I hanya akan memberikan uang kerohiman RP 50 juta kepada setiap penghuni yang mau meninggalkan rumah dinas.
Janda pensiunan PT AP I dari Ir. Archan MSc, Munawarah ( 61), memiliki 2 anak yang hadir di PN Jakpus turut berujar akan terus mencari keadilan. "Suami kita berjuang dari 1 bandara hingga 14 bandara, koq di zalimi?
Pudji yang telah bekerja pada Angkasa Pura selama 30 tahun, jabatan terakhir pengawasan bidang personalia umum, pensiun pada akhir mei 2007 lalu mengatakan,"Hukum di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono semakin memburuk, semakin tidak menghargai jasa-jasa para pahlawan."
"Saya tidak pernah berpikir ini diperkarakan Angkasa Pura, karena direksi terdahulu mengatakan boleh direnovasi, padahal dana renovasi dari kantong pribadi," tambah Pudji.
Ungkapan kekecewaan juga ditunjukan Aziz. "Ini kasus perdata bukan pidana, ini seperti dipaksakan.
Pada penulis, pengacara terdakwa Edy Halomoan Gurning SH dan Sidik SH mengatakan mestinya perkara perdata dulu diselesaikan, baru bisa dipidanakan. "Perdata saja belum selesai, koq terdakwa dipidanakan dengan ancaman 2 tahun? Biro hukum Angkasa Pura harus bertanggung-jawab, dan menghormati hukum,"
kata Edy. (Popi Rahim, Yusweri)
Sumber : http://www.facebook.com/AJWImedia
PUTUSAN BEBAS ANGKASA PURA I MURNI DARI ALLAH SWT
AJWImedia, Jakarta – Hakim merupakan wakil tuhan dalam mengambil keputusan suatu perkara. Kalau tidak objektif memutuskan perkara, efeknya banyak orang yang akan dirugikan. Tak jarang juga hakim salah menvonis perkara.
“ Putusan bebas kami (Angkasa Pura I) dari ancaman penjara murni dari Allah swt, soalnya perkara kami itu perdata, jadi tidak bisa dipidanakan, kalau dipidanakan berarti termasuk mengkriminalisasikan kami “ kata pensiunan Angkasa Pura I yang ikut tersandung kasus, Hartoyo Indra Asmara, saat AJWImedia mengkonfirmasi informasi tersebut di rumahnya, Komplek Rawasari, Kamis (21/6/2012).
Ucapan kegembiraan juga dilontarkan juga oleh Rommy Leo Rinaldo, salah satu pengacara dari pensiunan Angkasa Pura I itu.
“Yes!” ucap Rommy Leo Rinaldo sambil mengepalkan tangan, Senin (14/5) sebulan lalu, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rommy langsung mengekspresikan rasa gembira begitu majelis hakim rampung membacakan putusan dalam perkara pidana menempati rumah dinas tanpa hak. Rommy adalah pengacara yang mendampingi dua pensiunan PT Angkasa Pura I, Putranto Hardan dan Josendang Rum Royeniwati.
Artikel yang juga ditulis oleh hukumonline.com, mengatakan Putranto dan Josendang merupakan dari 13 orang yang akan dipidakan oleh Pihak Angkasa Pura I, menjadi terdakwa karena dituding menempati rumah dinas PT Angkasa Pura I secara tanpa hak dan melawan hukum. Keduanya didakwa dengan Pasal 36 ayat (4) jo Pasal 12 ayat (1) UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Disidangkan secara terpisah, Putranto dan Josendang menerima vonis yang sama. Mereka divonis lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berpendapat apa yang didakwakan penuntut umum tidak lagi dipandang sebagai tindak pidana menurut UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman, No 1 Tahun 2011.
Seperti diketahui, Pasal 12, (1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik. Pasal 36, (4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Selain itu, majelis hakim juga mendasarkan putusannya pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi bilamana ada suatu perubahan perundang-undangan, maka ketentuan yang paling menguntungkanlah yang harus diterapkan.
Usai persidangan, Rommy Leo Rinaldo mengatakan putusan terhadap Putranto dan Josendang sejalan dengan putusan lain dalam perkara sejenis. “Artinya, tidak ada terjadi disparitas dalam putusan ini karena tiga kasus yang sama sebelumnya, hakim melepaskan tiga terdakwa di putusan sela,” ujarnya.
Diakui Rommy, dalam proses persidangan, kedua kliennya memang dinyatakan memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan penuntut umum. “Namun, karena ada perubahan perundang-undangan ini, maka hakim melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum dan diambil ketentuan yang paling meringankan terdakwa,” jelasnya.
Senada dengan sang pengacara, Putranto juga menyatakan sangat senang atas putusan majelis hakim. “Saya sangat senang atas putusan ini. Artinya, tidak terjadi disparitas hukuman terhadap putusan sebelumnya,” ujarnya usai persidangan.
Dalam kasus ini, selain Putranto dan Josendang, terdapat belasan pensiunan PT Angkasa Pura I yang sempat dan masih menyandang status terdakwa.
Untuk diketahui, kasus ini bermula ketika tiga tahun silam, Direktur Utama PT Angkasa Pura I Bambang Darwono mengeluarkan surat perintah pengosongan rumah dinas yang ditempati para pensiunan. Munculnya surat perintah ini sempat mengejutkan para pensiunan. Karena, sebelumnya Direktur Utama tidak mempersoalkan rumas dinas itu. Direktur Utama bahkan sempat mengirim surat kepada Menteri Negara BUMN terkait pengalihan hak kepemilikan atas rumah dinas tersebut kepada para pensiunan.
Sayangnya, sebelum ada jawaban dari surat Meneg BUMN, tiba-tiba surat perintah pengosongan tersebut keluar. Pada tahun 2010, para pensiunan dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat karena mendiami rumah tanpa hak. ( Popi Rahim)
Sumber : http://www.facebook.com/asosiasiajwi
Selasa, 15 Mei 2012
Pensiunan Angkasa Pura I Diputus Lepas
Terdakwa masih menunggu putusan MA terkait surat Dirut PT Angkasa Pura I tentang pengosongan rumah dinas.
PN Jakarta Pusat bebaskan pensiunan angkasa pura. Foto: ilustrasi (Sgp)
“Yes!” ucap Rommy Leo Rinaldo sambil mengepalkan tangan, Senin (14/5), di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rommy langsung mengekspresikan rasa gembira begitu majelis hakim rampung membacakan putusan dalam perkara pidana menempati rumah dinas tanpa hak. Rommy adalah pengacara yang mendampingi dua pensiunan PT Angkasa Pura I, Putranto Hardan dan Josendang Rum Royeniwati.
Putranto dan Josendang menjadi terdakwa karena dituding menempati rumah dinas PT Angkasa Pura I secara tanpa hak dan melawan hukum. Keduanya didakwa dengan Pasal 36 ayat (4) jo Pasal 12 ayat (1) UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Disidangkan secara terpisah, Putranto dan Josendang menerima vonis yang sama. Mereka divonis lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berpendapat apa yang didakwakan penuntut umum tidak lagi dipandang sebagai tindak pidana menurut UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman, No 1 Tahun 2011.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
Pasal 36
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Selain itu, majelis hakim juga mendasarkan putusannya pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi bilamana ada suatu perubahan perundang-undangan, maka ketentuan yang paling menguntungkanlah yang harus diterapkan.
Usai persidangan, Rommy Leo Rinaldo mengatakan putusan terhadap Putranto dan Josendang sejalan dengan putusan lain dalam perkara sejenis. “Artinya, tidak ada terjadi disparitas dalam putusan ini karena tiga kasus yang sama sebelumnya, hakim melepaskan tiga terdakwa di putusan sela,” ujarnya.
Diakui Rommy, dalam proses persidangan, kedua kliennya memang dinyatakan memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan penuntut umum. “Namun, karena ada perubahan perundang-undangan ini, maka hakim melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum dan diambil ketentuan yang paling meringankan terdakwa,” jelasnya.
Senada dengan sang pengacara, Putranto juga menyatakan sangat senang atas putusan majelis hakim. “Saya sangat senang atas putusan ini. Artinya, tidak terjadi disparitas hukuman terhadap putusan sebelumnya,” ujarnya usai persidangan.
Meskipun sudah diputus lepas, Putranto dan Josendang masih harap-harap cemas. Pasalnya, mereka masih menanti putusan Mahkamah Agung terkait gugatan tata usaha negara atas terbitnya surat Direktur Utama PT Angkasa Pura I Bambang Darwoto tentang pengosongan rumah dinas.
“Jika putusan MA mengatakan kita harus pindah, maka kita pindah. Jika tidak, ya kita akan segera beli,” kata Putranto.
Dalam kasus ini, selain Putranto dan Josendang, terdapat belasan pensiunan PT Angkasa Pura I yang sempat dan masih menyandang status terdakwa. Tiga pensiunan diantaranya juga telah diputus lepas dari segala tuntutan. Lalu, tujuh pensiunan, perkaranya dihentikan di Kepolisian. Dua pensiunan lagi masih menunggu putusan majelis hakim yang rencananya dibacakan minggu depan, Senin (21/5).
Untuk diketahui, kasus ini bermula ketika tiga tahun silam, Direktur Utama PT Angkasa Pura I Bambang Darwono mengeluarkan surat perintah pengosongan rumah dinas yang ditempati para pensiunan. Munculnya surat perintah ini sempat mengejutkan para pensiunan. Karena, sebelumnya Direktur Utama tidak mempersoalkan rumas dinas itu. Direktur Utama bahkan sempat mengirim surat kepada Menteri Negara BUMN terkait pengalihan hak kepemilikan atas rumah dinas tersebut kepada para pensiunan.
Sayangnya, sebelum ada jawaban dari surat Meneg BUMN, tiba-tiba surat perintah pengosongan tersebut keluar. Pada tahun 2010, para pensiunan dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat karena mendiami rumah tanpa hak.
PN Jakarta Pusat bebaskan pensiunan angkasa pura. Foto: ilustrasi (Sgp)
“Yes!” ucap Rommy Leo Rinaldo sambil mengepalkan tangan, Senin (14/5), di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rommy langsung mengekspresikan rasa gembira begitu majelis hakim rampung membacakan putusan dalam perkara pidana menempati rumah dinas tanpa hak. Rommy adalah pengacara yang mendampingi dua pensiunan PT Angkasa Pura I, Putranto Hardan dan Josendang Rum Royeniwati.
Putranto dan Josendang menjadi terdakwa karena dituding menempati rumah dinas PT Angkasa Pura I secara tanpa hak dan melawan hukum. Keduanya didakwa dengan Pasal 36 ayat (4) jo Pasal 12 ayat (1) UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
Disidangkan secara terpisah, Putranto dan Josendang menerima vonis yang sama. Mereka divonis lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berpendapat apa yang didakwakan penuntut umum tidak lagi dipandang sebagai tindak pidana menurut UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman, No 1 Tahun 2011.
Pasal 12
(1) Penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik.
Pasal 36
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Selain itu, majelis hakim juga mendasarkan putusannya pada Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi bilamana ada suatu perubahan perundang-undangan, maka ketentuan yang paling menguntungkanlah yang harus diterapkan.
Usai persidangan, Rommy Leo Rinaldo mengatakan putusan terhadap Putranto dan Josendang sejalan dengan putusan lain dalam perkara sejenis. “Artinya, tidak ada terjadi disparitas dalam putusan ini karena tiga kasus yang sama sebelumnya, hakim melepaskan tiga terdakwa di putusan sela,” ujarnya.
Diakui Rommy, dalam proses persidangan, kedua kliennya memang dinyatakan memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan penuntut umum. “Namun, karena ada perubahan perundang-undangan ini, maka hakim melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum dan diambil ketentuan yang paling meringankan terdakwa,” jelasnya.
Senada dengan sang pengacara, Putranto juga menyatakan sangat senang atas putusan majelis hakim. “Saya sangat senang atas putusan ini. Artinya, tidak terjadi disparitas hukuman terhadap putusan sebelumnya,” ujarnya usai persidangan.
Meskipun sudah diputus lepas, Putranto dan Josendang masih harap-harap cemas. Pasalnya, mereka masih menanti putusan Mahkamah Agung terkait gugatan tata usaha negara atas terbitnya surat Direktur Utama PT Angkasa Pura I Bambang Darwoto tentang pengosongan rumah dinas.
“Jika putusan MA mengatakan kita harus pindah, maka kita pindah. Jika tidak, ya kita akan segera beli,” kata Putranto.
Dalam kasus ini, selain Putranto dan Josendang, terdapat belasan pensiunan PT Angkasa Pura I yang sempat dan masih menyandang status terdakwa. Tiga pensiunan diantaranya juga telah diputus lepas dari segala tuntutan. Lalu, tujuh pensiunan, perkaranya dihentikan di Kepolisian. Dua pensiunan lagi masih menunggu putusan majelis hakim yang rencananya dibacakan minggu depan, Senin (21/5).
Untuk diketahui, kasus ini bermula ketika tiga tahun silam, Direktur Utama PT Angkasa Pura I Bambang Darwono mengeluarkan surat perintah pengosongan rumah dinas yang ditempati para pensiunan. Munculnya surat perintah ini sempat mengejutkan para pensiunan. Karena, sebelumnya Direktur Utama tidak mempersoalkan rumas dinas itu. Direktur Utama bahkan sempat mengirim surat kepada Menteri Negara BUMN terkait pengalihan hak kepemilikan atas rumah dinas tersebut kepada para pensiunan.
Sayangnya, sebelum ada jawaban dari surat Meneg BUMN, tiba-tiba surat perintah pengosongan tersebut keluar. Pada tahun 2010, para pensiunan dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat karena mendiami rumah tanpa hak.
Senin, 14 Mei 2012
Dijerat UU usang, pensiunan Angkasa Pura I diselamatkan UU PKP
Sebab, UU Nomor 4/1992 sudah dihapuskan dan diganti dengan UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Dalam ketentuan UU yang baru, bahwa menempati rumah dinas tidak bisa dipidana. "Dalam hal ini perbuatan terdakwa bukan lagi suatu tindak pidana," papar majelis hakim.
Reporter : Khresna Guntarto (khresna@gresnews.com)
Editor : Oki Baren (oki@gresnews.com)
Pensiunan karyawan PT AP I (Foto:sp-angkasapura1.or.id)
ANGIN segar berembus kepada 14 pensiunan PT Angkasa Pura (PT AP) I yang diperkarakan karena menempati rumah dinas. Soalnya, dua terdakwa dalam kasus itu divonis lepas dari segala tuntutan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (14/5).
Putranto dan Jos Endang wajahnya sumringah mendengar putusan lepas dari majelis hakim yang terdiri dari Nur Ali, Agus Iskandar dan Rohmat. Perkara mereka diputuskan terpisah dan dibacakan bergantian oleh anggota majelis hakim yang sama dan hanya berbeda posisi ketua majelisnya saja.
"Perbuatan penghunian rumah dinas bukan lagi sebagai suatu perbuatan pidana," kata ketua majelis hakim Nur Ali, saat membacakan putusan akhir terhadap Putranto.
JPU mendakwa pensiunan PT AP I ini dengan Pasal 12 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (4) UU Nomor 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Majelis hakim menyatakan sepakat dengan dalil eksepsi kuasa hukum terdakwa bahwa beleid itu sudah tidak berlaku.
Sebab, UU Nomor 4/1992 sudah dihapuskan dan diganti dengan UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Dalam ketentuan UU yang baru, bahwa menempati rumah dinas tidak bisa dipidana.
"Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) KUHP aturan yang paling meringankan terdakwa harus diterapkan. Dalam hal ini perbuatan terdakwa bukan lagi suatu tindak pidana," papar majelis hakim.
Dengan demikian, berdasarkan musyawarah majelis, Putranto dinyatakan lepas dari segala tuntutan. "Perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi perbuatan itu bukan lagi suatu tindak pidana," ucap majelis.
Pertimbangan dan vonis senada juga dijatuhkan terhadap Jos Endang Royeniwati. Atas putusan ini, JPU Sri Hartati dan Agam yang diwakili oleh penggantinya menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atau tidak.
Nasib pensiunan
Perkara ini semula menimpa 15 orang pensiunan PT PAP I yang mengajukan kepemilikan rumah dinas yang sudah menempati rumah dinas selama puluhan tahun. Namun satu orang akhirnya berdamai dengan PT AP I dan bersedia hengkang dari Komplek Perhubungan Cempaka Putih.
Adapun 14 orang yang dimaksud adalah Noerodi Sidik, Puji Harjoko, Aziz Situmorang, Kunto Prastowo, Surachman, Wulang Kupiyotomo, Darmaji, Hartoyo Indria Asmara, Marchan (Janda), IGP Mustike, Dana Dalimonte, Jos Endang Rum Royeniwati (janda), Edmon dan Putranto.
Selain Putranto dan Jos Endang, putusan lepas juga sudah diterima oleh Noeroedi Sidik, Puji Harjoko dan Hartoyo dalam putusan sela di PN Jakpus. Kasus mereka saat ini menunggu putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI. Sementara Noerodi Sidik belum lama ini putusannya dikuatkan di tingkat banding.
"Saya berharap semuanya bisa dilepaskan dari segala tuntutan," ujar Noerodi Sidik yang ditemui di PN Jakpus.
Sedianya putusan hari ini direncakan juga untuk Edmon tetapi ditunda hingga Kamis (24/5). Di hari itu majelis juga akan membacakan putusan terhadap Munawaroh.
Kuasa hukum terdakwa, Rommy Leo, mengatakan pertimbangan majelis sudah tepat. Sebab, tidak mungkin terdakwa dihukum atas perbuatan yang tak bisa dipidanakan.
"Karena UU yang baru tidak lagi dinyatakan pidana dan terdakwa berhak mendapatkan rehabilitasi," ucap Rommy.
Dalam perkara ini tujuh terdakwa sudah mendapatkan proses hukum di pengadilan. Sementara tujuh lainnya, kasusnya masih di tingkat penyidikan kepolisian.
Ke-15 orang tersebut sudah menempati rumah dinas puluhan tahun sejak 1991 berdasarkan Surat Penetapan Direksi PT Angkasa Pura I. Sebelum pensiun, sekitar tahun 2002 hingga 2003 beberapa penghuni rumah dinas mengajukan permohonan untuk membeli rumah itu.
Permohonan pun disambut baik Direktur PT Angkasa Pura I, Bambang Darwoto. Pada 2006, Bambang mengeluarkan surat AP.I.4208/TK.004.3/2006/DU-B kepada Menteri Negara BUMN untuk memproses izin pembelian rumah dinas tersebut.
Namun, Menteri Negara BUMN tidak memberikan tanggapan hingga saat ini. Pada 2009, tiba-tiba ke-15 orang ini diusir oleh Direksi PT Angkasa Pura I untuk meninggalkan rumah dinas. Dasar pengusirannya disebutkan, adanya ketentuan SK Nomor 599 Tahun 1990 tertanggal 25 Juni 1990, bahwa enam bulan setelah pensiun, rumah dinas harus dikosongkan.
Direksi pun mengeluarkan peringatan hingga ketiga kalinya. Kompensasi memang ditawarkan sebesar Rp50 juta. Tapi, nilai itu tak sebanding dengan harga tanah dan rumah di wilayah tersebut yang rata-rata setara dengan Rp2,5 miliar. Akhirnya Sidik Cs memilih bertahan.
Pada Maret 2010, para pensiunan dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat. Selain itu, berbagai teror melalui preman juga dirasakan mereka. Satu orang akhirnya menyerah dan rela pindah dari lokasi itu.
Pengusiran ini dilatarbelakangi perjanjian PT AP I dengan PT Duta Paramindo Sejahtera soal jual beli tanah seluas 129.216 m2 di dekat wilayah rumah dinas itu. Ke-15 rumah milik pensiunan, bahkan tujuh rumah pegawai aktif masuk dalam perjanjian.
"Terkait dengan upaya pensiunan ini mendapatkan hak perumahannya itu masih berlangsung upaya hukum baik secara PTUN maupun perdata," tuntas Rommy.
Sumber: http://gresnews.com/berita/hukum/1813145-dijerat-uu-usang-pensiunan-angkasa-pura-i-diselamatkan-uu-pkp
Reporter : Khresna Guntarto (khresna@gresnews.com)
Editor : Oki Baren (oki@gresnews.com)
Pensiunan karyawan PT AP I (Foto:sp-angkasapura1.or.id)
ANGIN segar berembus kepada 14 pensiunan PT Angkasa Pura (PT AP) I yang diperkarakan karena menempati rumah dinas. Soalnya, dua terdakwa dalam kasus itu divonis lepas dari segala tuntutan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (14/5).
Putranto dan Jos Endang wajahnya sumringah mendengar putusan lepas dari majelis hakim yang terdiri dari Nur Ali, Agus Iskandar dan Rohmat. Perkara mereka diputuskan terpisah dan dibacakan bergantian oleh anggota majelis hakim yang sama dan hanya berbeda posisi ketua majelisnya saja.
"Perbuatan penghunian rumah dinas bukan lagi sebagai suatu perbuatan pidana," kata ketua majelis hakim Nur Ali, saat membacakan putusan akhir terhadap Putranto.
JPU mendakwa pensiunan PT AP I ini dengan Pasal 12 Ayat (1) dan Pasal 36 Ayat (4) UU Nomor 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Majelis hakim menyatakan sepakat dengan dalil eksepsi kuasa hukum terdakwa bahwa beleid itu sudah tidak berlaku.
Sebab, UU Nomor 4/1992 sudah dihapuskan dan diganti dengan UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Dalam ketentuan UU yang baru, bahwa menempati rumah dinas tidak bisa dipidana.
"Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) KUHP aturan yang paling meringankan terdakwa harus diterapkan. Dalam hal ini perbuatan terdakwa bukan lagi suatu tindak pidana," papar majelis hakim.
Dengan demikian, berdasarkan musyawarah majelis, Putranto dinyatakan lepas dari segala tuntutan. "Perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi perbuatan itu bukan lagi suatu tindak pidana," ucap majelis.
Pertimbangan dan vonis senada juga dijatuhkan terhadap Jos Endang Royeniwati. Atas putusan ini, JPU Sri Hartati dan Agam yang diwakili oleh penggantinya menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atau tidak.
Nasib pensiunan
Perkara ini semula menimpa 15 orang pensiunan PT PAP I yang mengajukan kepemilikan rumah dinas yang sudah menempati rumah dinas selama puluhan tahun. Namun satu orang akhirnya berdamai dengan PT AP I dan bersedia hengkang dari Komplek Perhubungan Cempaka Putih.
Adapun 14 orang yang dimaksud adalah Noerodi Sidik, Puji Harjoko, Aziz Situmorang, Kunto Prastowo, Surachman, Wulang Kupiyotomo, Darmaji, Hartoyo Indria Asmara, Marchan (Janda), IGP Mustike, Dana Dalimonte, Jos Endang Rum Royeniwati (janda), Edmon dan Putranto.
Selain Putranto dan Jos Endang, putusan lepas juga sudah diterima oleh Noeroedi Sidik, Puji Harjoko dan Hartoyo dalam putusan sela di PN Jakpus. Kasus mereka saat ini menunggu putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI. Sementara Noerodi Sidik belum lama ini putusannya dikuatkan di tingkat banding.
"Saya berharap semuanya bisa dilepaskan dari segala tuntutan," ujar Noerodi Sidik yang ditemui di PN Jakpus.
Sedianya putusan hari ini direncakan juga untuk Edmon tetapi ditunda hingga Kamis (24/5). Di hari itu majelis juga akan membacakan putusan terhadap Munawaroh.
Kuasa hukum terdakwa, Rommy Leo, mengatakan pertimbangan majelis sudah tepat. Sebab, tidak mungkin terdakwa dihukum atas perbuatan yang tak bisa dipidanakan.
"Karena UU yang baru tidak lagi dinyatakan pidana dan terdakwa berhak mendapatkan rehabilitasi," ucap Rommy.
Dalam perkara ini tujuh terdakwa sudah mendapatkan proses hukum di pengadilan. Sementara tujuh lainnya, kasusnya masih di tingkat penyidikan kepolisian.
Ke-15 orang tersebut sudah menempati rumah dinas puluhan tahun sejak 1991 berdasarkan Surat Penetapan Direksi PT Angkasa Pura I. Sebelum pensiun, sekitar tahun 2002 hingga 2003 beberapa penghuni rumah dinas mengajukan permohonan untuk membeli rumah itu.
Permohonan pun disambut baik Direktur PT Angkasa Pura I, Bambang Darwoto. Pada 2006, Bambang mengeluarkan surat AP.I.4208/TK.004.3/2006/DU-B kepada Menteri Negara BUMN untuk memproses izin pembelian rumah dinas tersebut.
Namun, Menteri Negara BUMN tidak memberikan tanggapan hingga saat ini. Pada 2009, tiba-tiba ke-15 orang ini diusir oleh Direksi PT Angkasa Pura I untuk meninggalkan rumah dinas. Dasar pengusirannya disebutkan, adanya ketentuan SK Nomor 599 Tahun 1990 tertanggal 25 Juni 1990, bahwa enam bulan setelah pensiun, rumah dinas harus dikosongkan.
Direksi pun mengeluarkan peringatan hingga ketiga kalinya. Kompensasi memang ditawarkan sebesar Rp50 juta. Tapi, nilai itu tak sebanding dengan harga tanah dan rumah di wilayah tersebut yang rata-rata setara dengan Rp2,5 miliar. Akhirnya Sidik Cs memilih bertahan.
Pada Maret 2010, para pensiunan dilaporkan ke Polres Jakarta Pusat. Selain itu, berbagai teror melalui preman juga dirasakan mereka. Satu orang akhirnya menyerah dan rela pindah dari lokasi itu.
Pengusiran ini dilatarbelakangi perjanjian PT AP I dengan PT Duta Paramindo Sejahtera soal jual beli tanah seluas 129.216 m2 di dekat wilayah rumah dinas itu. Ke-15 rumah milik pensiunan, bahkan tujuh rumah pegawai aktif masuk dalam perjanjian.
"Terkait dengan upaya pensiunan ini mendapatkan hak perumahannya itu masih berlangsung upaya hukum baik secara PTUN maupun perdata," tuntas Rommy.
Sumber: http://gresnews.com/berita/hukum/1813145-dijerat-uu-usang-pensiunan-angkasa-pura-i-diselamatkan-uu-pkp
Sabtu, 28 April 2012
Kronologis Kejadian Perkara
Untuk bahan pertimbangan Majelis
Hakim Yang Mulia, saya sampaikan Kronologis Kejadian Perkara berawal keinginan
pensiunan penghuni rumah dinas untuk membeli sebagai berikut :
1.
|
Tahun 1992 : Rumah Komplek Perhubungan Udara di Blok A,B dan C
dibeli oleh para penghuninya
|
2.
|
Tahun 2002 : Permohonan penghuni untuk membeli rumah Blok D
sesuai
peraturan perumahan yang memungkinkan untuk pembelian (Keputusan Menkeu
No.89/KMK.013/1991 dan Instruksi Menteri BUMN No.02/M.MBU/2002)
|
3.
|
Tahun 2006 : Direksi PT Angkasa Pura 1 menyetujui permohonan
penghuni untuk membeli rumah dinas
terbukti telah memproses pembelian
rumah dinas tersebut dengan suratnya
No.AP l.4208/TK.00.4.3/2006/DU-B tanggal 14 Desember 2006 perihal Permohonan pembelian Rumah Dinas kepada Meneg BUMN
|
4.
|
Tahun 2009 : bulan Juli, Agustus,September Direksi PT Angkasa
Pura l mengeluarkan Surat Perintah
(SP) l, ll dan lll agar pensiunan
segera
mengosongkan rumah dinas
|
4.
|
Tahun 2009 : bulan Agustus,
pensiunan gugat ke PTUN perkara
No 132/G/2009 untuk menggugat sah
tidaknya SPl, II dan III.
|
5.
|
Tahun 2009 : bulan Oktober :
Direksi AP l menandatangani Akte Perjanjian Penyerahan Penggunaan
Tanah dengan Hak Pengelolaan yang dikuasai oleh PT. Angkasa Pura l seluas
lebih kurang 129.216 M2 yang terletak
di jalan Pramukasari, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih,
Jakarta Pusat, yang akan digunakan untuk Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Milik (Rusunami) antara PT. Angasa Pura l dengan PT. Duta Paramindo Sejahtera
(PT. DPS). Akta No : 26 tanggal 21 Oktober 2009 dengan nama : ”dGREEN PRAMUKA
RESIDENCES” JL Jenderal A. Yani Kav 49 Jakarta Pusat 10570. masih satu lahan
dengan Komplek Perhubungan Udara Blok D yang dihuni 15 pensiunan Angkasa Pura
l
|
6.
|
Tahun 2010 : bulan Maret : dengan dimulainya
pembangunan Apartement dGreen Pramuka Residences ini, Direksi AP l melaporkan pidana 15 pensiunannya ke Polisi yaitu
ke Polres Jakarta Pusat, ditandatangani
oleh Imam Pramono atas perintah Bambang Darwoto (kesaksian Imam Pramono
di BAP Polisi)
|
7.
|
Tahun 2010 : bulan Juli : Karena
dipidanakan Para Pensiun menggugat
perkara perdata ke PNJP untuk dapat
membeli rumah dinas
|
8.
|
Tahun 2011 : bulan Januari UU
No 4 Tahun 1992 dicabut dan diganti Dengan UU No 1 Tahun 2011 berlaku per
12 Januari 2011, UU yang Baru ini ,
tidak lagi menetapkan sebagai tindak pidana.
|
9.
|
Tahun 2011 : bulan Mei Jaksa Penuntut Umum merekonstruksi Surat Dakwaan dengan mengacu pada UU No 4 Tahun.
1992 yang sudah tidak berlaku.
|
10.
|
Tahun 2011 : bulan
September pensiunan mendapat Surat
Panggilan Terdakwa untuk disidang pada tanggal 15 September 2011
|
11.
|
Tahun 2011 : bulan Oktober
pensiunan melalui Penasehat Hukum LBH
mengajukan Eksepsi karena Surat
Dakwaan menggunakan UU yang sudah tidak berlaku/dicabut, eksepsi tidak
diterima, perkara dilanjutkan
|
12.
|
Tahun 2012 : Februari-April
: berlangsung sidang perkara pidana
sampai sekarang.- pensiunan penghuni rumah dinas dikriminalkan
|
Sumber: http://rumahdinasangkasapura1.blogspot.com/2012/04/kronologis-kejadian-perkara.html
Jumat, 20 April 2012
ANGGAP KRIMINALISASI JANDA PENSIUNAN Pensiunan Angkasa Pura Berdemo di PN Jakpus
Puluhan orang pensiunan PT. Angkasa Pura I, Rabu (28/3), berdemo di depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Demo yang yang dilakukan tersebut, sebagai rasa simpatisan kepada Munawaroh Marchan (62), seorang janda pensiunan PT.Angkasa Pura (AP) yang akan menghadapi sidang pembacaan surat tuntutan terkait kasus penghunian rumah negara yang melilitnya.
ARFANDI TANJUNG
Sebagaimana diketahui, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Roland dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta pusat, Munawaroh dijerat dengan pasal 12 ayat (1) jo pasal 36 ayat (4) UU No: 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Padahal, menurut penasehat hukurn Munawaroh dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, SH, dan Sidik, SH, bahwa UU No: 4 tahun 1992, yang didakwakan kepada Munawaroh, sudah tidak berlaku lagi setelah diundangkannya UU No: 1 Tahun 2011 tentang Per-umahan dan Kawasan Permukiman.
Menurut kedua penasehat hukum, peristiwa dalam kasus ini mengingatkan kita pada kasus serupa dua tahun lalu. Yakni, kriminalisasi yang menimpa janda pahlawan (Soetarti Soekarno, Roesmini, dan Timoria Manur-ung), yang mana Para istri pensiunan Perum Pegadaian ini diancam hukuman karena mengusahakan peralihan hak atas rumah dinas yang ditempati melalui permohonan pembelian.
'Terulangnya kasus ini menujukan bahwa ada yang salah dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya ter-kait rumah negara," ujar Aiff Maulana di halaman PN Jakarta Pusat
Sementara menurut Ir.Noerodi Sidik, selaku Koordinator Pensiunan PT. AP, Munawaroh adalah satu dari 14 orang pensiunan PT. AP yang menjadi korban kriminalisasi karena menghuni rumah negara dengan jerat pasal yang sama, pasal yang sudah kadaluarsa dan tidak berlaku.
13 orang lagi pensiunan PT. AP ter-sebut, Noerodi menjelaskan, yakni Edmon Ral, Noerodi Sidik, Hartoyo, Putranto Hardan, Pudji Harjoko, Danas Dalimonte, Darmadji, Wulang K, Kunto Prastowo, Surachman, Aziz Sitomorang, Ny. IG.P Mustika, dan Ny. Yos Sudaryanto.
Mereka hendak memperjuangkan hak atas rumah dengan mengupayakan pengalihan hak atas rumah negara yang mereka huni selama berdinas di Angkasa Pura I melalui mekanisme pembelian hak atas rumah dijamin oleh konstitusi pasal 28H ayat 1. Dan permohonan pengajuan sudah dilayangkan, PT AP I pun telah menyetujui dengan mengajukan permohonan pengalihan hak ke Kementerian BUMN tahun 2006.
Belurn mendapat jawaban, akan tetapi para pensiunan justru dipidanakan oleh PT AP I sendiri setelah sebelumnya mendapat Surat Peringatan (SP) pengosongan rumah. Tindakan PT AP I yang bertolak belakang tersebut, memaksa para pensiunan mengajukan gugatan perdata dan PTUN,
Noerodi mengungkapkan, rneskipun pasal yang digunakan untuk mendakwa para pensiunan PT AP I sudah kadaluarsa saat ini, proses hukum pidana terhadap ke 14 pensiunan masih terus berjaIan dan berkas perkara mereka masing-masing displit atau dipisahkan.
Proses hukum para pensiunan PT. AP I tersebut berbeda-beda. Yakni, tujuh (7) kasus telah bergulir di pengadilan, satu (1) berkas perkara pensiunan masih di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, dan enam (6) berkas kasus masih terhenti di kepolisian. Tiga (3) kasus telah diputus oleh hakim, namun belum berkekuatan hukum tetap karena JPU mengajukan banding.
Proses hukum pidana terhadap para pensiunan PT AP I ini adalah kriminalisasi yang mengada-ada dan sengaja dipaksakan, Menurutnya, kasus ini sungguh mencederai rasa keadilan yang hidup di masyarakat, karena JPU bersikukuh untuk mendakwa para pensiunan tersebut dengan UU yang sudah tidak berlaku.
Ayo pak semangat terus
Bapak –bapak sedang memperjuangkan keadilan
Ibu –ibu semangat dan selamat berjuang.
Ayo bu orasi terus biar masyarakat tahu ada pengadilan badut.
Sumber: Intel Media Hukum (Edisi No. 20 Tahun II/6 - 20 April 2012 . 16 Halaman)
Sabtu, 14 April 2012
Marzuki Alie: Rumah Dinas DPR Sebaiknya Dijual
Liputan6.com, Jakarta
14/04/2012 12:29
14/04/2012 12:29
Kristian Ginting
Marzuki Alie Ketua DPR, Marzuki Alie mengatakan, pimpinan DPR sudah mengevaluasi dan menyarankan sebaiknya rumah jabatan anggota Dewan sebaiknya dikembalikan ke negara atau dijual.
Sebab, kata Marzuki, mayoritas rumah dinas itu tidak ditempati oleh anggota Dewan. "Jangan lihat dari angka sewa dan pemeliharaannya, tapi lihat berapa uang yang tertanam dalam membangun rumah itu," kata Marzuki di DPR, Jakarta, Jumat (13/4). Menurut Marzuki, uang yang dikeluarkan untuk memelihara rumah dinas itu terbilang cukup mahal. Setiap lima tahun ratusan miliaran rupiah dikeluarkan untuk melakukan renovasi. Belum lagi biaya biaya tahunannya. "Pimpinan sepakat dikembalikan ke negara," katanya.
Kepada anggota Dewan, kata Marzuki diberikan saja uang tunjangan untuk sewa rumah atau beli. Dulu nilainya sebesar Rp15 juta per bulan. Dibandingkan dengan rumah dinas itu, tidak ditempati dan tidak bermanfaat.
"Akan kita bicarakan dengan pemerintah. Periode ini terakhir, periode depan enggak usah lagi menunggu, dikembalikan saja. Uangnya triliunan bisa masuk sebagai pendapatan negara," katanya. (ARI)
Marzuki Alie Ketua DPR, Marzuki Alie mengatakan, pimpinan DPR sudah mengevaluasi dan menyarankan sebaiknya rumah jabatan anggota Dewan sebaiknya dikembalikan ke negara atau dijual.
Sebab, kata Marzuki, mayoritas rumah dinas itu tidak ditempati oleh anggota Dewan. "Jangan lihat dari angka sewa dan pemeliharaannya, tapi lihat berapa uang yang tertanam dalam membangun rumah itu," kata Marzuki di DPR, Jakarta, Jumat (13/4). Menurut Marzuki, uang yang dikeluarkan untuk memelihara rumah dinas itu terbilang cukup mahal. Setiap lima tahun ratusan miliaran rupiah dikeluarkan untuk melakukan renovasi. Belum lagi biaya biaya tahunannya. "Pimpinan sepakat dikembalikan ke negara," katanya.
Kepada anggota Dewan, kata Marzuki diberikan saja uang tunjangan untuk sewa rumah atau beli. Dulu nilainya sebesar Rp15 juta per bulan. Dibandingkan dengan rumah dinas itu, tidak ditempati dan tidak bermanfaat.
"Akan kita bicarakan dengan pemerintah. Periode ini terakhir, periode depan enggak usah lagi menunggu, dikembalikan saja. Uangnya triliunan bisa masuk sebagai pendapatan negara," katanya. (ARI)
Sumber: liputan6.com
Jumat, 13 April 2012
Rumah dinas DPR diusulkan dihapus
Jum'at, 13 April 2012 17:04 wib
Sindonews.com - Anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan rutin rumah dinas (rumdin) atau rumah jabatan anggota (RJA) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) cukup fantastis. Tahun 2012 ini, telah dianggarkan dana senilai Rp98,02 miliar untuk renovasi rumdin itu.
Ironisnya, kebanyakan rumdin yang terletak di dua lokasi, yakni Kalibata dan Ulujami, Jakarta Selatan, tidak dihuni para anggota dewan.
Melihat kondisi itu Ketua DPR Marzuki Alie menyarankan supaya RJA itu di kembalikan ke negara saja daripada tidak digunakan. Bahkan lebih baik dijual, supaya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
"Soal RJA ini, pimpinan sudah mengevaluasi, dan memang sebaiknya RJA ini dikembalikan kepada negara saja," ujar Marzuki kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (13/4/2012).
Usulan itu, juga disepakati oleh pimpinan DPR lainnya. Anggota dewan lebih baik diberi fasilitas lain sebagai kompensasi pengembalian RJA kepada negara.
"Setelah rumah itu dikembalikan, selanjutnya, anggota dewan diberikan uang tunjangan saja, terserah nanti mau sewa rumah atau beli rumah sendiri," jelasnya.
Dalam hal ini pihaknya akan berkordinasi dengan pemerintah supaya diambil langkah lebih konkret lagi. "Daripada tidak digunakan, tidak bermanfaat, kerusakan juga makin cepat kalau enggak ditunggu. Akan kami bicarakan dengan pemerintah soal ini," jelasnya.
Jika nantinya RJA dijual, keuntungannya akan lebih besar. "Uangnya triliunan bisa masuk sebagai pendapatan negara. Kalau dijual dan dideposito, itu bisa membayar tunjangan perumahan. Kalau diusahakan bisa saja untuk bayar gaji DPR," tukasnya lagi.(lin)
Sindonews.com - Anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan rutin rumah dinas (rumdin) atau rumah jabatan anggota (RJA) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) cukup fantastis. Tahun 2012 ini, telah dianggarkan dana senilai Rp98,02 miliar untuk renovasi rumdin itu.
Ironisnya, kebanyakan rumdin yang terletak di dua lokasi, yakni Kalibata dan Ulujami, Jakarta Selatan, tidak dihuni para anggota dewan.
Melihat kondisi itu Ketua DPR Marzuki Alie menyarankan supaya RJA itu di kembalikan ke negara saja daripada tidak digunakan. Bahkan lebih baik dijual, supaya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
"Soal RJA ini, pimpinan sudah mengevaluasi, dan memang sebaiknya RJA ini dikembalikan kepada negara saja," ujar Marzuki kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (13/4/2012).
Usulan itu, juga disepakati oleh pimpinan DPR lainnya. Anggota dewan lebih baik diberi fasilitas lain sebagai kompensasi pengembalian RJA kepada negara.
"Setelah rumah itu dikembalikan, selanjutnya, anggota dewan diberikan uang tunjangan saja, terserah nanti mau sewa rumah atau beli rumah sendiri," jelasnya.
Dalam hal ini pihaknya akan berkordinasi dengan pemerintah supaya diambil langkah lebih konkret lagi. "Daripada tidak digunakan, tidak bermanfaat, kerusakan juga makin cepat kalau enggak ditunggu. Akan kami bicarakan dengan pemerintah soal ini," jelasnya.
Jika nantinya RJA dijual, keuntungannya akan lebih besar. "Uangnya triliunan bisa masuk sebagai pendapatan negara. Kalau dijual dan dideposito, itu bisa membayar tunjangan perumahan. Kalau diusahakan bisa saja untuk bayar gaji DPR," tukasnya lagi.(lin)
Sumber: sindonews.com
Marzuki Minta Rumah Dinas Anggota DPR Dijual
Sandro Gatra | Heru Margianto | Jumat, 13 April 2012 | 15:17 WIB
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANKetua DPR Marzuki Alie.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mengatakan, pemerintah sebaiknya menjual rumah jabatan anggota (RJA) untuk anggota Dewan. Pasalnya, menurut Marzuki, RJA malah membebani keuangan negara setiap tahun.
"Kalau saya, mending dijual aja. Daripada dinikmati juga enggak, tapi biaya pemeliharaan besar dan membebani APBN," kata Marzuki di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jumat ( 13/4/2012 ).
Marzuki dimintai tanggapan tingginya angka pemeliharaan RJA di kawasan Kalibata dan Ulujami setiap tahun. Setidaknya, biaya pemiliharaan RJA dan wisma peristirahatan DPR di Cikopo di tahun 2012 (setelah dipotong) sebesar Rp 48 miliar. Sebelumnya, dianggarkan sebesar Rp 101 miliar.
Marzuki mengatakan, pimpinan DPR sepakat agar RJA dikembalikan ke negara karena banyak rumah yang tidak ditempati. Namun, negara tetap harus mengeluarkan dana untuk pemeliharaan, keamanan, dan biaya lainnya. Belum lagi biaya renovasi setiap lima tahun.
"Kerusakan akan semakin cepat kalau tidak ditunggu. Kita akan bicarakan itu dengan pemerintah. Alangkah baiknya periode ini terkahir. Periode anggota Dewan ke depan diharapkan dijual aja. Harga sekarang, (RJA) itu sudah bisa triliunan rupiah karena di tengah kota. Lebih baik uangnya dideposito," kata Marzuki.
Menurut politisi Partai Demokrat itu, sebaiknya anggota Dewan diberikan tunjangan tempat tinggal setiap bulan. Anggota diberi kebebasan untuk memilih tempat tinggal. Dana untuk tunjangan, kata dia, lebih rendah dibanding seluruh anggaran untuk RJA.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANKetua DPR Marzuki Alie.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mengatakan, pemerintah sebaiknya menjual rumah jabatan anggota (RJA) untuk anggota Dewan. Pasalnya, menurut Marzuki, RJA malah membebani keuangan negara setiap tahun.
"Kalau saya, mending dijual aja. Daripada dinikmati juga enggak, tapi biaya pemeliharaan besar dan membebani APBN," kata Marzuki di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jumat ( 13/4/2012 ).
Marzuki dimintai tanggapan tingginya angka pemeliharaan RJA di kawasan Kalibata dan Ulujami setiap tahun. Setidaknya, biaya pemiliharaan RJA dan wisma peristirahatan DPR di Cikopo di tahun 2012 (setelah dipotong) sebesar Rp 48 miliar. Sebelumnya, dianggarkan sebesar Rp 101 miliar.
Marzuki mengatakan, pimpinan DPR sepakat agar RJA dikembalikan ke negara karena banyak rumah yang tidak ditempati. Namun, negara tetap harus mengeluarkan dana untuk pemeliharaan, keamanan, dan biaya lainnya. Belum lagi biaya renovasi setiap lima tahun.
"Kerusakan akan semakin cepat kalau tidak ditunggu. Kita akan bicarakan itu dengan pemerintah. Alangkah baiknya periode ini terkahir. Periode anggota Dewan ke depan diharapkan dijual aja. Harga sekarang, (RJA) itu sudah bisa triliunan rupiah karena di tengah kota. Lebih baik uangnya dideposito," kata Marzuki.
Menurut politisi Partai Demokrat itu, sebaiknya anggota Dewan diberikan tunjangan tempat tinggal setiap bulan. Anggota diberi kebebasan untuk memilih tempat tinggal. Dana untuk tunjangan, kata dia, lebih rendah dibanding seluruh anggaran untuk RJA.
Sumber: kompas.com
Minggu, 01 April 2012
Pensiunan Penghuni Rumah Negara Angkasa Pura I Dikriminalisasi
Jakarta, SNP
Pengadilan kasus kriminalisasi penghuni rumah negara kembali terulang, kali ini menimpa para pensiunan PT. Angkasa Pura I yang rata-rata telah berusia senja. mereka adalah Edmon RAL, Noerodi Sidik, Hartoyo, Putranto Hardan, Pudji Harjoko, Danas Dalimonte, Darmadji, Wulang K, Kunto Prastowo, Surachman, Azis Sitomorang, Ny. IGP. Mustika, Ny. Yos Sudaryanto, dan Munawaroh di usia pensiun
Mereka dipaksa berhadapan dengan pengadilan karena memperjuangkan hak atas tempat tinggal dengan mengupayakan peralihan hak atas rumah dinas meialui permohonan pembelian rumah dinas yang ditempati.
Upaya tersebut bukan tanpa dasar, mengingat permohonan itu sudah disetujui Direksi dan telah diproses sampai dengan kementrian BUMN. Namun sampai saat ini masih menunggu jawaban, dalam masa tunggu tersebut, para pensiunan PT Angkasa Pura I justru dilaporkan pidana, anehnya, mereka dilaporkan sendiri oleh PT Angkasa Pura I, perusahaan yang telah memberikan rekomendasi untuk mengajukan permohonan ke Menteri BUMN, setelah tiga kali mendapat surat peringatan (SP) pengosongan rumah, atas SK tersebut para pensiunan mengajukan gugatan perdata dan PTUN.
Sampai saat ini proses pidana terhadap Ke 14 pensiunan terus berjalan. kasus tersebut dipisah (displit) akibatnya proses hukumnya berbeda beda, 7 kasus telah bergulir. Di pengadilan, 1 berkas masih di kejaksaan negeri Jakarta pusat, sementara 6 berkas masih terhenti di kepolisian. tiga kasus telah di putus oleh Hakim namun belum berkekuatan hukum tetap karena jaksa penuntut umum mengajukan banding.
3 kasus dalam proses pemeriksaan saksi, 1 kasus dalam pembacaan tuntutan di pengdilan negeri Jakarta pusat oleh jaksa .Agus Saridewi namun sidang di tunda oleh Majelis Hakim Jihad Arkanuddin, SH, MH. Karena JPU belum siap dengan tuntutannya.
Yang memprihatinkan dalam kasus ini adalah dakwaan dialamatkan kepada para pensiunan PT, Angkasa Pura I berdasarkan pada Undang-Undang yang sudah tidak berlaku. mereka diancam dengan pasal 12 ayat (1) jo pasa 36 ayat (4) UU No, 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman yang sudah tidak berlaku setelah di undangkannya UU No. 1 tahun 2011 tentang perumahan. Pemukiman pasal 12 ayat (1) jo pasal 36 ayat (4) UU No 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman menyebutkan bahwa: penghuni rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau ijin pemilik, setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat (1) dipidana dengan penjara selama lamanya 2 (dua) tahun dan/ atau dengan setinggi tingginya Rp20 jt
" pasal 166 UU No, 1 tahun 2011 menegaskan, pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Undang-undang No 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dicabut dan dinyatakan tidak berlaku" doktrin hukum menegaskan undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama dan menurut asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan. dalam UU No 1 tahun 2011, tindakan para pensiunan bukanlah tergolong tindak pidana lagi, oleh karena keliru jika proses pidana ini terus berlanjut. Hal tersebut disampaikan Arif Maulana SH, MH/ pengcara publik LBH Jakarta, Sidik, SHI/pengcara Publik LBH Jakarta dan Ir, Noerodi Sidik / Koordinator Pensiunan PT Angkasa Pura I. di pengadilan negeri Jakarta pusat. . BBG
Pengadilan kasus kriminalisasi penghuni rumah negara kembali terulang, kali ini menimpa para pensiunan PT. Angkasa Pura I yang rata-rata telah berusia senja. mereka adalah Edmon RAL, Noerodi Sidik, Hartoyo, Putranto Hardan, Pudji Harjoko, Danas Dalimonte, Darmadji, Wulang K, Kunto Prastowo, Surachman, Azis Sitomorang, Ny. IGP. Mustika, Ny. Yos Sudaryanto, dan Munawaroh di usia pensiun
Mereka dipaksa berhadapan dengan pengadilan karena memperjuangkan hak atas tempat tinggal dengan mengupayakan peralihan hak atas rumah dinas meialui permohonan pembelian rumah dinas yang ditempati.
Upaya tersebut bukan tanpa dasar, mengingat permohonan itu sudah disetujui Direksi dan telah diproses sampai dengan kementrian BUMN. Namun sampai saat ini masih menunggu jawaban, dalam masa tunggu tersebut, para pensiunan PT Angkasa Pura I justru dilaporkan pidana, anehnya, mereka dilaporkan sendiri oleh PT Angkasa Pura I, perusahaan yang telah memberikan rekomendasi untuk mengajukan permohonan ke Menteri BUMN, setelah tiga kali mendapat surat peringatan (SP) pengosongan rumah, atas SK tersebut para pensiunan mengajukan gugatan perdata dan PTUN.
Sampai saat ini proses pidana terhadap Ke 14 pensiunan terus berjalan. kasus tersebut dipisah (displit) akibatnya proses hukumnya berbeda beda, 7 kasus telah bergulir. Di pengadilan, 1 berkas masih di kejaksaan negeri Jakarta pusat, sementara 6 berkas masih terhenti di kepolisian. tiga kasus telah di putus oleh Hakim namun belum berkekuatan hukum tetap karena jaksa penuntut umum mengajukan banding.
3 kasus dalam proses pemeriksaan saksi, 1 kasus dalam pembacaan tuntutan di pengdilan negeri Jakarta pusat oleh jaksa .Agus Saridewi namun sidang di tunda oleh Majelis Hakim Jihad Arkanuddin, SH, MH. Karena JPU belum siap dengan tuntutannya.
Yang memprihatinkan dalam kasus ini adalah dakwaan dialamatkan kepada para pensiunan PT, Angkasa Pura I berdasarkan pada Undang-Undang yang sudah tidak berlaku. mereka diancam dengan pasal 12 ayat (1) jo pasa 36 ayat (4) UU No, 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman yang sudah tidak berlaku setelah di undangkannya UU No. 1 tahun 2011 tentang perumahan. Pemukiman pasal 12 ayat (1) jo pasal 36 ayat (4) UU No 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman menyebutkan bahwa: penghuni rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau ijin pemilik, setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat (1) dipidana dengan penjara selama lamanya 2 (dua) tahun dan/ atau dengan setinggi tingginya Rp20 jt
" pasal 166 UU No, 1 tahun 2011 menegaskan, pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Undang-undang No 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman dicabut dan dinyatakan tidak berlaku" doktrin hukum menegaskan undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama dan menurut asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) KUHP bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan. dalam UU No 1 tahun 2011, tindakan para pensiunan bukanlah tergolong tindak pidana lagi, oleh karena keliru jika proses pidana ini terus berlanjut. Hal tersebut disampaikan Arif Maulana SH, MH/ pengcara publik LBH Jakarta, Sidik, SHI/pengcara Publik LBH Jakarta dan Ir, Noerodi Sidik / Koordinator Pensiunan PT Angkasa Pura I. di pengadilan negeri Jakarta pusat. . BBG
Sumber: Swara Nasional (Edisi 416. THN XI 26 Maret - 1 April 2012)
Senin, 19 Maret 2012
Sabtu, 17 Maret 2012
14 Pensiunan Angkasa Pura I Terancam Dibui
Tomi Sujatmiko | Sabtu, 17 Maret 2012 | 17:07 WIB | Dibaca: 25 | Komentar: 0
JAKARTA (KRjogja.com) - Sebanyak 14 pensiunan PT Angkasa Pura 1 berhadapan dengan pengadilan. Padahal, mereka tengah memperjuangkan hak atas tempat tinggal mereka di dekat Apartemen Grand Pramuka, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dan sudah disetujui direksi hingga sudah sampai ke Kementrian BUMN namun hingga kini belum ada jawaban.
Sayangnya, mereka malah dilaporkan oleh PT Añgkasa Pura 1 sendiri karena melakukan tindak pidana karena tidak mengosongkan rumah tersebut. Padahal mereka sudah tinggal di tempat tersebut selama puluhan tahun.
"Itu dilakukan karena mereka sudah digugat lantaran sudah 3 kali diberikan Surat Keputusan (SK), tapi itu kan sedang diusahakan," ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Sidik, di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Sabtu (17/3/2012).
Yang memprihatinkan, para pensiunan ini justru dilaporkan oleh PT Angkasa Pura 1 dan didakwa pada undang-undang yang sudah tidak berlaku. Mereka diancam Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) no 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sudah berlaku setelah diundangkannya UU 1/2011 tentang Perumaahan Pemukiman.
"Di pasal 166 UU 1/2011 menegaskan bahwa saat UU ini diterapkan, maka UU no 4/1992 dicabut dan tidak berlaku," jelasnya.
Dalam kasus ini, diharapkan tidak ada keputusan disparitas mengingat para pensiunan dihadapkan pada satu perkara dan dakwaan yang sama. ini juga merupakan rujukan bagi para hakim untuk memutus perkara. Mengingat tidak ada dasar hukum yang kuat untuk memidanakan para pensiunan dan cukup diselesaikan dengan mekanisme perdata.(Okz/Tom)
JAKARTA (KRjogja.com) - Sebanyak 14 pensiunan PT Angkasa Pura 1 berhadapan dengan pengadilan. Padahal, mereka tengah memperjuangkan hak atas tempat tinggal mereka di dekat Apartemen Grand Pramuka, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dan sudah disetujui direksi hingga sudah sampai ke Kementrian BUMN namun hingga kini belum ada jawaban.
Sayangnya, mereka malah dilaporkan oleh PT Añgkasa Pura 1 sendiri karena melakukan tindak pidana karena tidak mengosongkan rumah tersebut. Padahal mereka sudah tinggal di tempat tersebut selama puluhan tahun.
"Itu dilakukan karena mereka sudah digugat lantaran sudah 3 kali diberikan Surat Keputusan (SK), tapi itu kan sedang diusahakan," ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Sidik, di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Sabtu (17/3/2012).
Yang memprihatinkan, para pensiunan ini justru dilaporkan oleh PT Angkasa Pura 1 dan didakwa pada undang-undang yang sudah tidak berlaku. Mereka diancam Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) no 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sudah berlaku setelah diundangkannya UU 1/2011 tentang Perumaahan Pemukiman.
"Di pasal 166 UU 1/2011 menegaskan bahwa saat UU ini diterapkan, maka UU no 4/1992 dicabut dan tidak berlaku," jelasnya.
Dalam kasus ini, diharapkan tidak ada keputusan disparitas mengingat para pensiunan dihadapkan pada satu perkara dan dakwaan yang sama. ini juga merupakan rujukan bagi para hakim untuk memutus perkara. Mengingat tidak ada dasar hukum yang kuat untuk memidanakan para pensiunan dan cukup diselesaikan dengan mekanisme perdata.(Okz/Tom)
14 Pensiunan PT Angkasa Pura Terancam Dibui
Bagus Santosa - Okezone
Sabtu, 17 Maret 2012 12:24 wib
JAKARTA - Sebanyak 14 pensiunan PT Angkasa Pura 1 berhadapan dengan pengadilan. Padahal, mereka tengah memperjuangkan hak atas tempat tinggal mereka di dekat Apartemen Grand Pramuka, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dan sudah disetujui direksi hingga sudah sampai ke Kementrian BUMN namun hingga kini belum ada jawaban.
Sayangnya, mereka malah dilaporkan oleh PT Añgkasa Pura 1 sendiri karena melakukan tindak pidana karena tidak mengosongkan rumah tersebut. Padahal mereka sudah tinggal di tempat tersebut selama puluhan tahun.
"Itu dilakukan karena mereka sudah digugat lantaran sudah 3 kali diberikan Surat Keputusan (SK), tapi itu kan sedang diusahakan," ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Sidik, di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Sabtu (17/3/2012).
Yang memprihatinkan, para pensiunan ini justru dilaporkan oleh PT Angkasa Pura 1 dan didakwa pada undang-undang yang sudah tidak berlaku. Mereka diancam Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) no 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sudah berlaku setelah diundangkannya UU 1/2011 tentang Perumaahan Pemukiman.
"Di pasal 166 UU 1/2011 menegaskan bahwa saat UU ini diterapkan, maka UU no 4/1992 dicabut dan tidak berlaku," jelasnya.
Dalam kasus ini, diharapkan tidak ada keputusan disparitas mengingat para pensiunan dihadapkan pada satu perkara dan dakwaan yang sama.
Ini juga merupakan rujukan bagi para hakim untuk memutus perkara. Mengingat tidak ada dasar hukum yang kuat untuk memidanakan para pensiunan dan cukup diselesaikan dengan mekanisme perdata.
(teb)
Sabtu, 17 Maret 2012 12:24 wib
JAKARTA - Sebanyak 14 pensiunan PT Angkasa Pura 1 berhadapan dengan pengadilan. Padahal, mereka tengah memperjuangkan hak atas tempat tinggal mereka di dekat Apartemen Grand Pramuka, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dan sudah disetujui direksi hingga sudah sampai ke Kementrian BUMN namun hingga kini belum ada jawaban.
Sayangnya, mereka malah dilaporkan oleh PT Añgkasa Pura 1 sendiri karena melakukan tindak pidana karena tidak mengosongkan rumah tersebut. Padahal mereka sudah tinggal di tempat tersebut selama puluhan tahun.
"Itu dilakukan karena mereka sudah digugat lantaran sudah 3 kali diberikan Surat Keputusan (SK), tapi itu kan sedang diusahakan," ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Sidik, di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Sabtu (17/3/2012).
Yang memprihatinkan, para pensiunan ini justru dilaporkan oleh PT Angkasa Pura 1 dan didakwa pada undang-undang yang sudah tidak berlaku. Mereka diancam Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) no 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sudah berlaku setelah diundangkannya UU 1/2011 tentang Perumaahan Pemukiman.
"Di pasal 166 UU 1/2011 menegaskan bahwa saat UU ini diterapkan, maka UU no 4/1992 dicabut dan tidak berlaku," jelasnya.
Dalam kasus ini, diharapkan tidak ada keputusan disparitas mengingat para pensiunan dihadapkan pada satu perkara dan dakwaan yang sama.
Ini juga merupakan rujukan bagi para hakim untuk memutus perkara. Mengingat tidak ada dasar hukum yang kuat untuk memidanakan para pensiunan dan cukup diselesaikan dengan mekanisme perdata.
(teb)
Minggu, 08 Januari 2012
Dipertanyakan, laporan pidana pensiunan PAP I
Jakarta - Keabsahan laporan pidana terhadap 14 pensiunan PT Angkasa Pura I (Persero) atau PAP I yang dimejahijaukan karena menempati rumah dinas, dipertanyakan. Pasalnya, anggota satuan pengawas intern Angkasa Pura I, Imam Pramono selaku pelapor tidak mendapatkan kuasa resmi dari direksi untuk membuat pelaporan.
"Dia (Imam) tidak memiliki surat kuasa khusus untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan melaporkan para pensiunan," kata kuasa hukum terdakwa, Vicktor Dedy Sukma, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (6/12).
Vicktor mengaku keberatan dengan pelaporan yang dibuat oleh Imam. Disinyalir, Direktur Angkasa Pura I saat itu (2009), Bambang Darwoto, tidak memberikan surat kuasa.
"Padahal menurut UU PT, kalau ingin mengatasnamakan perseroan harus memiliki surat kuasa dari direksi," kata Vicktor, yang juga anggota Aliansi Penghuni Rumah Negara (APRN) ini.
Jasa pensiunan
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Penyidikan kasus ini, Imam mengaku hanya mengantongi beberapa surat terkait dengan pengosongan rumah dinas. Surat yang dimaksud adalah Surat Keputusan Direksi Nomor SKEP.93/RT.01.05/2009 tanggak 28 September 2009 Jo Keputusan Direksi Nomor SKEP.05/RT.01.05/2010 tanggal 3 februari 2010 tentang pembentukan tim pengosongan rumah dinas.
Sementara itu, lanjut Vicktor, Bambang Darwoto, mengklaim telah memerintahkan Imam untuk membuat laporan pidana berdasarkan surat tersebut. "Tidak bisa sembarangan seperti itu," ujar Vicktor.
Lebih jauh, Vicktor menuturkan, kasus ini terjadi karena kebijakan yang salah dari Menteri BUMN dan Menteri Perumahan. Perspektif Menteri BUMN untuk mengosongkan rumah pensiunan disinyalir untuk mencari untung.
"Padahal, jasa-jasa pensiunan itu sangat penting," tandas Vicktor.
Sebelumnya, 15 orang pensiunan PT Angkasa Pura I (Persero) yang mengajukan kepemilikan rumah dinas justru diganjar pemidanaan.
Tujuh orang diantaranya telah didakwa menempati rumah dinas Komplek Perhubungan Cempaka Putih tanpa izin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Disinyalir 15 orang itu diusir untuk kepentingan pembangunan Apartemen Green Garden Cempaka Putih.
Reporter : Khresna Guntarto (khresna@gresnews.com)
Editor : M. Achsan Atjo (atjo@gresnews.com)
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/1717612-dipertanyakan-laporan-pidana-pensiunan-pap-i
"Dia (Imam) tidak memiliki surat kuasa khusus untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan melaporkan para pensiunan," kata kuasa hukum terdakwa, Vicktor Dedy Sukma, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Selasa (6/12).
Vicktor mengaku keberatan dengan pelaporan yang dibuat oleh Imam. Disinyalir, Direktur Angkasa Pura I saat itu (2009), Bambang Darwoto, tidak memberikan surat kuasa.
"Padahal menurut UU PT, kalau ingin mengatasnamakan perseroan harus memiliki surat kuasa dari direksi," kata Vicktor, yang juga anggota Aliansi Penghuni Rumah Negara (APRN) ini.
Jasa pensiunan
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Penyidikan kasus ini, Imam mengaku hanya mengantongi beberapa surat terkait dengan pengosongan rumah dinas. Surat yang dimaksud adalah Surat Keputusan Direksi Nomor SKEP.93/RT.01.05/2009 tanggak 28 September 2009 Jo Keputusan Direksi Nomor SKEP.05/RT.01.05/2010 tanggal 3 februari 2010 tentang pembentukan tim pengosongan rumah dinas.
Sementara itu, lanjut Vicktor, Bambang Darwoto, mengklaim telah memerintahkan Imam untuk membuat laporan pidana berdasarkan surat tersebut. "Tidak bisa sembarangan seperti itu," ujar Vicktor.
Lebih jauh, Vicktor menuturkan, kasus ini terjadi karena kebijakan yang salah dari Menteri BUMN dan Menteri Perumahan. Perspektif Menteri BUMN untuk mengosongkan rumah pensiunan disinyalir untuk mencari untung.
"Padahal, jasa-jasa pensiunan itu sangat penting," tandas Vicktor.
Sebelumnya, 15 orang pensiunan PT Angkasa Pura I (Persero) yang mengajukan kepemilikan rumah dinas justru diganjar pemidanaan.
Tujuh orang diantaranya telah didakwa menempati rumah dinas Komplek Perhubungan Cempaka Putih tanpa izin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Disinyalir 15 orang itu diusir untuk kepentingan pembangunan Apartemen Green Garden Cempaka Putih.
Reporter : Khresna Guntarto (khresna@gresnews.com)
Editor : M. Achsan Atjo (atjo@gresnews.com)
Sumber: http://www.gresnews.com/berita/hukum/1717612-dipertanyakan-laporan-pidana-pensiunan-pap-i
The case of Laws which is no longer valid in Indonesia
This case occurred between PT Angkasa Pura 1, State Owned Enterprise againsts its retirees who occupants Angkasa Pura Pura 1's house compound which is located in Rawasari Jakarta.
The case of the AP 1's house compound, happened since of the occupants of that houses began serving their pension.
Although there is a kind of provision that all retirees must leave the company house commencing six months after they begin to retire, but also there is legislation that gives rights to the occupants of the company house to buy a house in which they have already lived the house for at least 10 years.
It was stipulated in the Decree of the Minister of Finance of the Republic of Indonesia, since the employees of State Owned enterprise are Government Employee as well.
For that purposed in the year of 2006, the President Director of PT AP 1, has made Application Letter to the Minister of State Enterprises, in order to get a permission for the residents of company's house who are eligible to buy that house.
While waiting for a reply from the Minister of SOE over that letter, sudenly in the year of 2009, PT Angkasa Pura 1, issued a letter of instruction to emptying of company house.

Due to those letter of emptying, the retirees demanding that case to the civil court against that discharge letter.
Afterward that civil case is trialed in civil court what so called the administrative court/PTUN
While the trial is running, the company complained that case to the police, so that civil case is changed as a criminal case.
Then the police file of that criminal retirees was brought to the State Attorney, Central Jakarta.
After the retirees case file is considered completed by the prosecutor, then that case is taken to the court for trial in the Case of Residential Homes without any right.
The charges that accused to the retirees is Occupancy Houses without any rights in accordance to the article in the Republic of Indonesia Act No. 4, the year of 1992.
The process of the police investigation against the retirees occurred during the year of 2010, then the investigation process that is undertaken by the prosecutors conducted and finished until the mid of the year 2011.

During the investigation process occurs in the year of 2011, particularly in the district of Central Jakarta Attorny, there was a change in the Law of the Republic of Indonesia No. 4 of 1992, it is pulled, no longer valid anymore and replaced by Law No. 1 of 2011 concerning to the Government House.
In the laws No. 1 of 2011, it is said over all, that the problems that occur in residential of government house is a civil case, not a criminal case, and should be resolved in the civil court.
That change has been conveyed by the retirees to both the police and the prosecutors.
But both institutions said that:
"The incident of occupancy house with no right occurred starting from 2009, prior to the enactment of Law No.1 2011 and it is still happening until now. Therefore it is still feasible to be trialed now 2011, in the court as a criminal case. This is accordance to the principle of Tempos Delicti"
Of course, this is contrary to the Principle of Law that said:
"If there is a change of the law that indicted to the defendant, it must be in enacted the most favorable law which is accused to the defendant"

This case is very interested to be reviewed and analysed according to the Law Science, because that thing has ever happened to Mr. Yusril Ihza Mahendra, former Minister of Justice, who is accused by the laws which is no longer valid. But whether because he is a former minister, finally that charges was pulled by the Attorney General of the Republic of Indonesia.
A similar case also have been experienced by the 2 heroes widows, the widows of the late retired employee of Perum Pegadaian Negara, States Owned Enterprise.
They are also accused of violation of clauses in the Act No. 4 of 1992, Occupancy House With No Right, since they are occupants of the State Owned Enterprise's house.
The case has already finished, stipulated by the Supreme Court of the Republic of Indonesia.
The decission is "free no guilty"
But why did the same thing happened again to the retirees of Angkasa Pura 1.
The government supposed to look to the case of the 2 Heroes Widows as a "yurisprudence"
The answer is:
"that's the Republic of Indonesia, the Country of the Rulers, that any time can criminalize a civil case"
Sumber: http://rumahdinasangkasapura1.blogspot.com/2012/01/case-of-laws-which-is-no-longer-valid.html
The case of the AP 1's house compound, happened since of the occupants of that houses began serving their pension.
Although there is a kind of provision that all retirees must leave the company house commencing six months after they begin to retire, but also there is legislation that gives rights to the occupants of the company house to buy a house in which they have already lived the house for at least 10 years.
It was stipulated in the Decree of the Minister of Finance of the Republic of Indonesia, since the employees of State Owned enterprise are Government Employee as well.
For that purposed in the year of 2006, the President Director of PT AP 1, has made Application Letter to the Minister of State Enterprises, in order to get a permission for the residents of company's house who are eligible to buy that house.
While waiting for a reply from the Minister of SOE over that letter, sudenly in the year of 2009, PT Angkasa Pura 1, issued a letter of instruction to emptying of company house.

Due to those letter of emptying, the retirees demanding that case to the civil court against that discharge letter.
Afterward that civil case is trialed in civil court what so called the administrative court/PTUN
While the trial is running, the company complained that case to the police, so that civil case is changed as a criminal case.
Then the police file of that criminal retirees was brought to the State Attorney, Central Jakarta.
After the retirees case file is considered completed by the prosecutor, then that case is taken to the court for trial in the Case of Residential Homes without any right.
The charges that accused to the retirees is Occupancy Houses without any rights in accordance to the article in the Republic of Indonesia Act No. 4, the year of 1992.
The process of the police investigation against the retirees occurred during the year of 2010, then the investigation process that is undertaken by the prosecutors conducted and finished until the mid of the year 2011.

During the investigation process occurs in the year of 2011, particularly in the district of Central Jakarta Attorny, there was a change in the Law of the Republic of Indonesia No. 4 of 1992, it is pulled, no longer valid anymore and replaced by Law No. 1 of 2011 concerning to the Government House.
In the laws No. 1 of 2011, it is said over all, that the problems that occur in residential of government house is a civil case, not a criminal case, and should be resolved in the civil court.
That change has been conveyed by the retirees to both the police and the prosecutors.
But both institutions said that:
"The incident of occupancy house with no right occurred starting from 2009, prior to the enactment of Law No.1 2011 and it is still happening until now. Therefore it is still feasible to be trialed now 2011, in the court as a criminal case. This is accordance to the principle of Tempos Delicti"
Of course, this is contrary to the Principle of Law that said:
"If there is a change of the law that indicted to the defendant, it must be in enacted the most favorable law which is accused to the defendant"

This case is very interested to be reviewed and analysed according to the Law Science, because that thing has ever happened to Mr. Yusril Ihza Mahendra, former Minister of Justice, who is accused by the laws which is no longer valid. But whether because he is a former minister, finally that charges was pulled by the Attorney General of the Republic of Indonesia.
A similar case also have been experienced by the 2 heroes widows, the widows of the late retired employee of Perum Pegadaian Negara, States Owned Enterprise.
They are also accused of violation of clauses in the Act No. 4 of 1992, Occupancy House With No Right, since they are occupants of the State Owned Enterprise's house.
The case has already finished, stipulated by the Supreme Court of the Republic of Indonesia.
The decission is "free no guilty"
But why did the same thing happened again to the retirees of Angkasa Pura 1.
The government supposed to look to the case of the 2 Heroes Widows as a "yurisprudence"
The answer is:
"that's the Republic of Indonesia, the Country of the Rulers, that any time can criminalize a civil case"
Sumber: http://rumahdinasangkasapura1.blogspot.com/2012/01/case-of-laws-which-is-no-longer-valid.html
Langganan:
Postingan (Atom)